Kamis, 13 Februari 2014

"KUTU BUKU"


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ed. III, 2001), kutu buku diterangkan sebagai kiasan yang berarti "orang yang senang membaca dan menelaah buku di mana saja". Kalau begitu, anggota perpustakaan atau penulis resensi pasti tersentuh kiasan itu.
Dalam bahasa Inggris ada istilah "bookworm". Artinya, orang yang gemar membaca buku. Arti harfiahnya, beragam serangga yang bisa merusak buku, semisal "booklouse" (gegat). Hewan sekecil butiran pasir dan tak bersayap ini bisa berbuat kerusakan di halaman buku, bahkan di bagian jilidnya sekalian.
Saya sendiri senang membaca buku, juga senang berkenalan dengan sesama pembaca buku, tapi kadang-kadang saya kurang senang dengan istilah "kutu" dalam hal ini. Sulit rasanya jika orang seperti Antonio Magliabechi (1633 -- 1714), yang mencurahkan banyak waktu untuk membaca buku, dan konon mengoleksi sekitar 40.000 buku, mesti dibandingkan dengan kutu.
Lagi pula, kata "kutu" biasanya menyiratkan citra yang tidak baik. Dalam benak kita sering tergambar hewan kecil yang suka merusak atau mengganggu, mengancam sambil bersembunyi, dan karena itu sering dibasmi.
Jangan-jangan, istilah "kutu buku" tadinya bukan kiasan, melainkan semata-mata julukan bagi satu atau beberapa jenis kutu. Saya tidak tahu. Yang pasti, dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di negeri tropis seperti Indonesia, memang ada sejumlah kutu, tak terkecuali yang sering melekat pada buku. Kita pun mengenal rayap dan ngengat.
Mungkin juga, istilah "kutu buku" menjadi kiasan melalui ejekan. Entahlah. Orang yang gila baca sepertinya dianggap sebagai makhluk kecil yang tidak bisa terbang ke mana pun selain menjelajahi lautan pustaka. Timbullah citra manusia kurus kering berkacamata seperti tokoh Sangaji dalam sebuah sinetron yang pernah disiarkan oleh TVRI puluhan tahun lalu.
Namun, peran sosok-sosok kecil itu, dan kegiatan membaca itu sendiri, sering dianggap penting dalam sejarah peradaban. Stephen Roger Fischer, penulis sejarah, bahkan menjuluki para pembaca buku sebagai "saksi abadi" (immortal witness) bagi perubahan kehidupan dari waktu ke waktu. Kegiatan membaca yang memungkinkan individu memiliki "daulat pribadi atas ruang dan waktu" (personal command over space and time), pada gilirannya turut memelihara kelangsungan peradaban.
"Seluruh bahasa dan kebudayaan yang dikenal dalam sejarah bisa bertahan hanya melalui kegiatan membaca, dalam arti tiada hentinya berpartisipasi di atas panggung kehidupan manusia sebagaimana yang terwujud dalam kejayaan dan perjuangan dari masa silam kita bersama," tulis Stephen Roger Fischer dalam bukunya yang memukau, "A History of Reading" (Reaktion Book, 2003).
Karena keberadaannya begitu penting, para pembaca buku, kalaupun tetap mau ditamsilkan dengan kutu, rupanya bukan kutu yang mengganggu, apalagi merusak "panggung kehidupan manusia". Justru sebaliknya, kutu yang satu ini suka memelihara serta membangun "bahasa dan kebudayaan".
Satu-satunya hal yang bisa menyejajarkan si gila baca dengan sang kutu, kiranya, adalah kenyataan bahwa keduanya begitu melekat pada buku. Dalam hal ini, kutu buku kiranya agak berbeda dari bibliofil, apalagi dari pengidap bibliomania. Bibliofil mencintai buku, tapi mungkin tak begitu kuat membaca. Pengidap bibliomania begitu keranjingan buku hingga bisa jadi tak cukup cermat menelaah isinya.
Itulah sebabnya, barangkali, penyusun KBBI menekankan sifat "senang membaca dan menelaah buku". Kesenangan atau kegiatan demikian, tentu saja, menyiratkan kesungguhan. Apalagi untuk menghasilkan telaah yang baik atas buku, jelas dibutuhkan kesanggupan untuk membaca dari dekat -- barangkali seperti yang diperbuat oleh para ahli filologi.
Mereka yang mengakrabi manuskrip tua, misalnya, melaksanakan kegiatan membaca dengan mencermati kode, mentransliterasikan aksara, merekonstruksi kisah, bahkan menerjemahkannya ke dalam bahasa mutakhir. Dengan kata lain, para ahli filologi tahu apa artinya membaca dari dekat dan sanggup menjalankannya.
Akan tetapi, justru kesanggupan demikian yang kiranya masih langka di sekitar kita. Orang yang sanggup membaca dari dekat kiranya belum sebanyak orang sanggup mengoleksi atau mengutip buku. Malahan, ada kalanya, segelintir penelaah buku sepertinya benar-benar dianggap kutu tatkala cukup banyak orang risau oleh bayangan tentang kerusakan dan gangguan.
Orang Indonesia pernah hidup dalam suatu masa ketika kegiatan membaca dianggap berbahaya. Sejumlah buku diberangus dan sejumlah penulis dicerca seperti najis. Situasi seperti itu tidak mustahil timbul lagi sewaktu-waktu apabila "daulat pribadi atas ruang dan waktu" yang melekat pada kegiatan membaca itu disisihkan dari kebudayaan. Fasisme lantas menyebar seperti wabah sampar. Hidup begitu singkat, buku begitu banyak. Selagi masih ada waktu, teruslah membaca, oh, kutu buku.
Diambil dari:
Nama situs:Republika
Penulis:Hawe Setiawan
Alamat URL:http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=301733&kat_id=319 ,  http://gubuk.sabda.org/kutu_buku